Kedua fosil termasuk manusia purba yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan manusia modern (Homo sapiens). Fosil Homo floresiensis yang dijuluki hobbit (manusia kerdil) telah mengguncang dunia arkeologi dan menjadi perdebatan sampai kini.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti sejak tahun 1970-an. Sempat terhenti karena kesulitan dana, penelitian dimulai lagi tahun 2001 bekerja sama dengan peneliti dari Australia. Tahun 2003, mereka menemukan kerangka manusia kerdil yang menghebohkan itu, yaitu kerangka perempuan setinggi 100 sentimeter (cm) yang diperkirakan terpendam lebih dari 10.000 tahun lalu. Hingga kini tim masih menggali Liang Bua. Lubang menganga dengan mudah ditemui di lantai gua.
Hujan mengguyur deras ketika Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT tiba di Liang Bua pada pertengahan Oktober lalu. Liang Bua (gua dingin) menjadi hunian ideal untuk berteduh dari derasnya hujan maupun teriknya matahari. Penjaga Liang Bua, Cornelis, menghampiri kami dan menawarkan jasa bertemu manusia kerdil dari Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu, Kecamatan Waeriri.
Kehadiran lelaki kerdil Victor Dau (80) di Liang Bua menghidupkan gambaran tentang manusia kerdil Homo floresiensis. Dengan tinggi 135 cm, Victor yang tidak bisa berbahasa Indonesia ini mengaku sebagai keturunan dari manusia kerdil yang fosilnya ditemukan terkubur di Liang Bua.
Keberadaan manusia kerdil berukuran kurang dari 150 cm di Dusun Rampasasa memperuncing perdebatan di kalangan ilmuwan. Peneliti Puslit Arkenas meyakini Homo floresiensis adalah spesies purba yang telah punah dan tidak memiliki kaitan dengan manusia kerdil dari dusun itu.
