( http://www.floresbangkit.com/2013/04/mbay-kota-unik-yang-masih-dililit-sejumlah-masalah/)
Mbay ibukota Kabupaten Nagekeo boleh disebut sebagai salah
satu kota kabupaten terunik di Pulau Flores. Keunikan kota Mbay terlihat pada
letak kotanya yang berada di tengah hamparan persawahan yang luas dan panuh
daya pesona.
Hampir 2/3 wilayah Mbay diintari oleh bentangan lahan sawah
yang luas didukung tata ruang kotanya yang rapih dan asri meskipun sebagian besar
jalan masih baralas tanah dan batu. Tidak berlebihan jika setiap orang yang
datang ke kota ini selalu berkesan menyenangkan.
Tak jauh dari jantung kota Mbay terdapat bendungan Sutami
sebagai salah satu bedungan irigasi terbesar di kawasan ini. Bendungan Sutami
yang dibangun perdana pada tahun 1975 ini mampu mengairi puluhan ribu hektar
lahan sawah milik para petani.
Bendungan yang baru direhab kembali beberapa waktu lalu itu
mampu mengairi lahan persawahan di beberapa desa di Mbay antara lain Desa Teda
Mude, Lange Dawe, Rendu Butowe, Jawa Kisa, Danga, Boa Nio, Ae Ramo, Penginanga,
Marpokot, Desa Mbay I dan Mbay II, Towak, Wolo Nio, Tonggu Rambang, Wae Kokak,
Dawe dan Munde. Dengan kapasitas air mencapai 7.800 liter/detik, bendungan ini
baru mengairi sawah seluas 6.500 hektar.
Padahal, menurut perhitungan teknis, bendungan yang
menampung air dari sekitar 88 anak sungai itu bisa menjangkau seluruh kawasan
pertanian di Mbay jika saja sejumlah persoalan tanah sudah terselesaikan.
Bendungan itu disebut-sebut bisa menjangkau wilayah transmigrasi lokal
(translok) di Desa Boa Nio, Kecamatan Aesesa dan wilayah sekitarnya.
Sayang, persoalan tanah yang belum diselesaikan menyebabkan
proyek irigasi yang rencananya dibangun di wilayah itu pun tersendat dan
berhenti total. “Sebenarnya, proyek irigasi tidak akan mendapatkan hambatan
jika pembebasan tanah milik warga sudah dilakukan sebelum proyek itu
datang,”ujar Yoakim Judha, seorang mantan pejabat setempat.
Akibat lanjutannya, ketika pemerintah hendak membangun
proyek irigasi ke wilayah itu,warga pun datang menghadang. Warga yang merasa
dirugikan melakukan aksi pemblokiran kegiatan pembangunan proyek irigasi di
bagian Timur kota Mbay.
Talang air untuk bagian kawasan Timur Mbay telah dibangun
namun air tidak bisa dialirkan ke wilayah itu karena warga memblokir aliran air
dan lahan tanah mereka karena belum ada pembebasan oleh pemerintah setempat.
Masalah tanah bukan hanya menjadi penghambat akselerasi
proses pembangunan di Mbay tetapi juga menghambat pengembangan arus
transportasi baik darat, laut maupun udara. Bandara udara yang sedianya akan
segera dibangun hingga kini masih menghadapi hambatan lagi-lagi lantaran
terbentur persoalan tanah.
Lokasi bandar udara yang terletak di kawasan Desa Tonggu
Rambang hingga kini masih menyimpan persoalan yang rupa-rupanya tak mudah untuk
diselesaikan. Padahal, bandar udara itu sendiri disebut-sebut sebagai salah
satu bandar udara terbesar di Flores karena memiliki panjang landasan mencapai
lebih dari 3 kilometer dengan luas lahan mencapai ratusan hektar.
Transportasi laut pun boleh dibilang masih cukup sepih dari
aktivitas keseharian. Meskipun disebut sebagai pelabuhan Surabaya II namun,
aktivitas di pelabuhan Marpokot masih
jauh dari harapan. Kapal penumpang hanya bisa ‘mampir’ di pelabuhan itu satu
kali untuk dua minggu. Sementara kapal-kapal barang cenderung memilih merapat
di pelabuhan Reo Kabupaten Manggarai atau Maumere di Kabupaten Sikka dan Ende
ketimbang langsung merapat ke ibu kota Mbay.
Padahal, dari sisi aksesibilitas pelabuhan laut Marpokot
merupakan salah satu pelabuhan yang cukup mudah dijangkau dengan infrastruktur
yang cukup memadai jika dibandingkan dengan pelabuhan laut lainnya di kota-kota
kabupaten lain di daratan Flores